Monday, February 18, 2008

Ramayana Ballet

SYNOPSIS

Pengantar

Prabu Janaka, Raja dari kerajaan Mantili mempunyai seorang putri nan cantik jelita bernama Dewi Shinta. Untuk memilih calon suami bagi putrinya diadakanlah sayembara. Dalam Sayembara tersebut, Rama Wijaya akhirnya keluar sebagai pemenang.

Prabu Rahwana, Penguasa kerajaan Alengkadiraja sangat ingin menikahi Dewi Widowati, tetapi ketika bertemu Dewi Shinta iapun segera berubah pikiran. Ia mengira bahwa Dewi Shinta merupakan jelmaan Dewi Widowati, seseorang yang sangat ia dambakan sejak lama.

HUTAN DANDAKA
Rama Wijaya beserta istrinya Shinta dan ditemani adiknya, Leksmana sedang mengembara di Hutan Dandaka. Tapi sayangnya mereka bertemu Rahwana yang sangat mengagumi Dewi Shinta. Rahwana menjadi sangat bernafsu untuk mendapatkan Dewi Shinta, dan untuk mewujudkan keinginannya, iapun merubah bentuk seorang pengikutnya menjadi seekor rusa emas bernama Kijang Kencana untuk menarik perhatian Shinta.

Karena tertarik dengan rusa tersebut, Shinta meminta Rama untuk menangkapnya. Rama menyanggupi dan meninggalkan istrinya yang ditemani oleh Leksmana dan mulai memburu rusa.

Setelah lama menunggu, Shinta menjadi khawatir karena Rama tak kunjung datang. Ia pun meminta Leksmana untuk segera menyusul Rama. Sebelum meninggalkan Shinta, Leksmana membuat sebuah lingkaran sakti di tanah dimana Shinta berdiri agar supaya Shinta terlindung dari marabahaya yang mungkin terjadi.

Segera setelah mengetahui Shinta sedang sendiri, Rahwana mencoba untuk menculiknya tapi gagal karena adanya lingkaran sakti tersebut. Kemudian Rahwanapun merubah dirinya menjadi seorang kakek. Shinta merasa kasihan ketika melihat kakek tua itu dan iapun keluar dari lingkaran sakti yang telah di buat oleh Leksamana. Seketika itu juga Rahwana menyergap Dewi Shinta untuk di bawa ke kerajaan Alengka.

MENGEJAR KIJANG KENCANA
Rama memanah kijang kencana, namun ia berubah menjadi raksasa. Pertarungan pun pecah antara Rama dan raksasa tersebut. Raksasa pun terpanah hingga tewas oleh Rama. Kemudian Leksmana tiba dan meminta Rama untuk segera kembali ke tempat dimana Shinta berada.

PENCULIKAN DEWI SHINTA
Dalam perjalanannya menuju Alengka, Rahwana bertemu seekor burung Garuda benama Jatayu. Namun kemudian mereka bertarung karena Jatayu mengetahui bahwa Rahwana sedang menculik Shinta putri Prabu Janaka, temannya. Sialnya Jatayu dapat dikalahkan oleh Rahwana dalam usahanya membebaskan Dewi Shinta dari cengkraman Rahwana.

Mengetahui bahwa Shinta tidak berada di tempatnya semula, Rama dan Leksmana memutuskan untruk segera mencarinya. Dalam perjalanannya mencari Dewi Shinta, mereka menemukan Jatayu dalam keadaan terluka parah. Untuk beberapa saat Rama berpikir bahwa Jatayulah yang menculik Shinta sehingga ia berniat untuk membunuhnya tetapi dilarang Leksmana. Jatayu menjelaskan semua yang telah terjadi sebelum akhirnya tewas.

Beberapa saat kemudian, seekor kera putih bernama Hanuman tiba. Ia di utus oleh pamannya Sugriwa untuk mencari 2 orang pendekar untuk membunuh Subali. Subali adalah orang suci dan telah membawa Dewi Tara, wanita yang amat di cintai Sugriwa. Akhirnya Rama memutuskan untuk membantu Sugriwa setelah terus menerus dipaksa Hanuman.

GUA KISKENDO
Ketika Subali, Dewi Tara dan putranya sedang bercengkrama, datanglah Sugriwa yang menyerang Subali secara tiba – tiba. Kemudian Sugriwa dengan dibantu Rama bertarung dan mengalahkan Subali, demi untuk membalas kebaikan Rama , Sugriwa memutuskan membantu mencari Dewi Shinta. Untuk tujuan tersebut, Sugriwa mengutus Hanuman untuk menemukan Dewi Shinta dan mengawasi kerajaan Alengka.

TAMAN ARGASOKA

Sepupu Rahwana yang bernama Trijata sedang menenangkan Dewi Shinta. Rahwana datang ke taman untuk menanyakan apakah Shinta mau menjadi istrinya, namun Shinta menolak. Hal ini membuat Rahwana murka dan ingin membunuh Shinta, tetapi dicegah oleh Trijata dan disarankan untuk tetap bersabar. Trijata berjanji kepada Rahwana untuk senantiasa memperhatikan Shinta.

Ketika Shinta sedang bersedih hati, tiba – tiba ia mendengar sebuah lagu indah yang dinyanyikan Hanuman, si kera putih. Hanuman berkata bahwa ia datang karena di utus oleh Rama untuk membebaskan Shinta. Setrelah menjelaskan semuanya kepada Shinta, Hanuman mulai mencari sumber kekuatan pasukan kerajaan Alengka. Kemudia iapun menghancurkan Taman Argasoka.

Indrajid, putra Rahwana berhasil menangkap Hanuman dan berniat membunuhnya namun di cegah oleh Kumbokarno. Sebagai akibatnya Kumbokarno di usir dari kerajaan. Hanuman di hukum dengan cara di bakar hidup – hidup. Tetapi Hanuman dapat melepaskan diri dan ganti menyerang dan membakar kerajaan Alengka dengan api di sekujur tubuhnya.

Segera setelah membumi hanguskan istana, Hanuman mendatangi Rama dan menjelaskan apa yang terjadi. Rama kemudian pergi ke Alengka bersama pasukannya. Ia mmenyerang dan membuat pasukan kerajaan tersebut dalam posisi sulit karena Indrajid sebagai pimpinan pasukan tempur telah tewas.

Semenjak tidak ada pimpinan dalam pasukan tempur., Rahwana memerintahkan Kumbokarno seorang raksasa yang bijaksana untuk memimpin pasukan dan bertempur bagi kerajaan Alengkadiraja. Namun kemudian Kumbokarno terbunuh dalam peperangan oleh panah sakti Rama. Rahwana akhirnya mengambil alih pimpinan pasukan dan mulai menyerang Rama dan pasukannya. Ramapun dapat melumpuhkan dan membunuh Rahwana. Jazadnya kemudian di taruh dan dihimpit oleh sebuah gunung yang di bawa oleh Hanuman.

RAMA BERTEMU SHINTA
Setelah kematian Rahwana, Hanuman membawa Shinta kembali kepada Rama. Namun tak disangka Rama menolak istrinya tersebut, karena ia mengira bahwa Shinta telah dinodai oleh Rahwana dan tidak suci lagi. Mendengar hal tersebut, Shinta sangat kecewa dan untuk membuktikan kesetiaan dan kesuciannya, Shinta masuk ke dalam tempat pembakaran untuk membakar dirinya sendiri. Berkat kesuciannya dan pertolongan Dewa Api, tak satu bagian pun dari tubuh Shinta yang terbakar dan iapun selamat. Rama sangat bahagia dan akhirnya dapat menerima istrinya kembali untuk hidup bahagia selama – lamanya.

Prambanan

Prambanan, named after the village, is the biggest temple complex in Java. There are 224 temples in the complex; three towering temples on the central terrace dominate the complex. Those are Brahma Temple in the North, Visnu Temple in the South and the biggest among the three which lies between Brahma and Visnu is Çiwa Temple which soars up to 47 meters high.

These three ancient masterpieces of Hindu architecture are locally referred to as Prambanan Temple or Rorojonggrang Temple. One of its appeals is the wealth of sculptural detail which is the most famous is on the inner wall of the balustrade, the wonderful Ramayana Epic.

Prambanan attracts many admirers each year from abroad. Situated about 15 km from Yogyakarta, the top of the main shrine is visible from a great distance and raises high above the scattered ruins of the former temples.

Prambanan is the best seen shortly after dawn or in the late afternoon. However it is still beautiful at any time.

HISTORY

Ancient Java’s greatest empire, The Mataram, first appeared on the stage of history in 732 AD, the year Sanjaya, a Hindu noble, established territorial rule over the fertile plains between the Progo and Opak rivers. In 750 AD, the Buddhist Syailendra dynasty overthrew Sanjaya, whose family and followers were exiled to the highlands on the periphery of Mataram. A century later, Rakai Pikatan, a descendant of King Sanjaya married into the Syailendras and rose to power. With his ascendancy came the rebirth of Hinduism and a new spate of the temple building, most notably the construction of Prambanan’s Roro Jonggrang complex.

Sanjaya Dynasty, a Hindu noble, established territorial rule over the fertile plains between the Progo and Opak rivers. The dynasty, in keeping with Hindu tradition, set him up as a semi-divine link between heaven and earth. To secure this status for eternity, and to unite the populace in a massive communal effort, he and his successors embarked on a centuries-long program of constructing religious monuments. The earliest Central Javanese Temples date from this period, including the foundations of the great Borobudur.

Rakai Pikatan, a descendant of King Sanjaya, married to the Sailendras and rose to power. With his ascendancy came the rebirth of Hinduism and a new spate of temple building, most notably the construction of Prambanan’s Roro Jonggarng complex. Rakai Pikatan began construction of the temples in 856 AD to commemorate the return to power of Sanjaya Dynasty. However, the complex was abandoned the next century when the Mataram court and most of the population moved to East Java, and the temples themselves collapsed during an earthquake in the 16th century. Half-hearted excavations by the archaeologists in 1880s only facilitated looting. Proper restoration began only in 1930 and continues today.

In 1811, Collin Mackenzie, a surveyor in the service of Thomas Stamford Raffles during Britain’s short lived rule over the Dutch East Indies, came upon these temples by chance. Although Raffles subsequently commissioned a full survey of the ruins, they remained neglected for decades. Dutch residents carried off sculptures for garden ornaments while local villagers used foundation stones for construction material. Proper restoration began only in 1930 and continues today.

BOROBUDUR TEMPLE

Borobudur is one the greatest Buddhist monuments in the world. This colossal relic of Borobudur Temple was built by Syailendra Dynasty between 750 and 842 AD; 300 years before Cambodia’s Angkor Wat, 400 years before work had begun on the great European Cathedrals. Sir Thomas Stamford Raffles revealed Borobudur Temple in 1814. He found the temple in ruin condition and ordered that the site be cleared of undergrowth and thoroughly surveyed. The massive restoration project began from 1905 to 1910 led by Dr. Th. Van Erp. With the assistance of UNESCO, the second restoration to rescue Borobudur was carried out in 1983.

The overall height of Borobudur was 42 meters, but it is only 34.5 meters now (after restoration) and has the dimension of 123 x 123 meters. The building has 10 floors or levels: Hhumtcambharabudara, the mountain of the accumulation of virtue in the ten stages of Bodhisatva. Borobudur is located 41 km Northwest of Yogyakarta, 7 km South of Magelang, Central Java.